Sistem Pemilu Elektronik; Kesiapan Mental Jadi Persoalan - KPU KABUPATEN TANGGAMUS
Selamat datang di laman resmi Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Tanggamus
.
Tahapan Pemilu 2024 dimulai pada hari Senin 14 Juni 2022

05 September 2014

Sistem Pemilu Elektronik; Kesiapan Mental Jadi Persoalan

Ilustrasi Pemilu Elektronik
Jakarta, Kompas- Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mewariskan sistem data terbuka yang menjamin transparansi. Tanggapan masyarakat terhadap sistem ini ternyata melebihi perkiraan, yang ditandai dengan munculnya fenomena pengawalan hasil pemilu oleh pengguna internet. Kondisi ini memunculkan dugaan, masyarakat sebenarnya sudah siap dengan penerapan sistem pemilu elektronik atau e-voting.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik, Jumat (29/8), di Jakarta, mengatakan, e-voting masih menjadi kajian lembaganya. Namun, untuk penerapan pada pemilu terdekat, dia masih sanksi.

“Masih ada ketidaksiapan (untuk menerapkan e-voting), yang belum siap itu mental, mental masyarakat untuk percaya kepada teknologi informasi (TI). Masih ada anggapan, TI bisa diprogram siapa yang menang,” kata Husni.

KPU, lanjut Husni, telah mempelajari penggunaan TI pada pemilu di India. India mampu menggelar e-voting, tetapi mereka tidak menggelar pemilu dalam sehari. Untuk menghemat biaya, alatnya dipindahkan ke tiap region karena tak semua region diberi peralatan e-voting.

KPU juga pernah studi ke Filipina. “Saya pernah ketemu KPU Filipina. Masyarakat Filipina mirip dengan Indonesia. Kesimpulannya, e-voting masih sulit dilaksanakan di negara seperti Indonesia karena teknologinya belum merata,” kata Husni.

Saat ini, KPU juga masih dalam posisi menunggu aturan yang pasti untuk memasukkan TI secara penuh dalam sistem kepemiluan Indonesia. “Butuh waktu untuk mempersiapkan baik peralatan maupun masyarakat karena ketika kita menggunakan e-voting, semua para pihak itu harus menyepakati bahwa e-voting bisa digunakan dan dipercaya,” kata Husni.

Jangan sampai nanti setelah pemungutan suara, lantas ada yang bilang e-voting tidak bisa dipercaya karena dianggap bisa diakali sedemikian rupa. “Sudah mahal-mahal biayanya, kemudian tak dipercaya, ini kan menjadi sia-sia saja,” kata Husni.

Guru Besar Fakultas Ilmu Soisal dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mengatakan, e-voting adalah ide bagus. Namun, aplikasinya perlu dikaji secara mendalam, termasuk kemungkinan menjalankannya. “Brasil dan India tidak bisa sekaligus melaksanakan, mereka menjalankannya secara bertahap,” kata Ramlan.

Dari sisi teknologi, Ramlan meyakini bisa dibuat Indonesia sendiri. “BPPT bisa, kok, membuat alatnya, yang penting bagaimana menyiapkan agar partai mau menerima. Termasuk menyiapkan KPU,” kata Ramlan.

Hal yang tidak boleh dilupakan, ujar Ramlan, menyiapkan dananya. Biaya akan mahal, karena teknologi berubah setiap saat. Oleh karena itu, kemungkinan yang cocok bukan langsung menerapkan e-voting, tetapi e-counting atau e-rekapitulasi.

Jika ingin menerapkan e-voting, jangan langsung serentak. “Beberapa daerah dulu yang menerapkan e-voting. India butuh tiga periode untuk uji coba, Brasil juga begitu,” kata Ramlan.

Jika memang sudah e-voting, Ramlan berpesan agar Indonesia mempertahankan tradisi penghitungan suara di tingkat tempat pemungutan suara. “Itu tradisi bagus. Tugas yang berat adalah melatih ratusan ribu orang. Jika ada 500.000 TPS, jika tiap TPS ada dua orang, maka ada satu juta orang harus dilatih. Ini perlu disiapkan,” katanya. (AMR)

Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Agustus 2014, Hal.2, Kol.5-7

Tidak ada komentar: